Soal Memelihara Kucing

Albert Schweitzer, seorang penulis dan filsuf pernah bilang, bahwa ada dua cara berlindung dari kesengsaraan hidup, yaitu musik dan kucing.

Walaupun terkesan agak berlebihan, aku pun enggan menampik bahwa dua hal itu mampu memberikan obat tersendiri untuk hati yang sedang gundah.

Bicara soal kucing, sebenarnya sejak kecil, keluargaku memelihara beberapa ekor kucing kampung. Dengan berbagai corak bulu, dan tentunya, kelakuan yang enggak kalah ajaib.
Dulu, waktu masih tinggal di rumah perkebunan, waktu itu aku masih baru masuk sekolah, sekitar 7 tahun. Kami memelihara empat ekor kucing, dengan 1 jantan dan lainnya betina. Karena jumlahnya empat dan formasinya mirip seperti keluarga kami. Satu ayah, satu ibu, dan dua orang anak perempuan.

Pernah, aku lupa tanggal tepat kejadiannya. Waktu itu, si induk hamil dan melahirkan tiga orang anak kucing, dua betina, dan satu jantan. Jadilah kami memelihara tujuh ekor kucing saat itu. Si anak kucing pun tumbuh dengan aktifnya. Kegiatan wajib aku dan kakak pun bertambah di rumah, bersihan pup si anak kucing yang suka sembarangan.
Tapi kegiatan itupun berubah waktu ketiga anak kucing itu mati, dengan mengenaskan.

Waktu itu siang hari, aku seperti layaknya anak perkebunan di jamannya, pasti lagi main di rumah tetangga, menjarah pohon jambu air yang lagi berbuah lebat. Sampai mamak manggil kami dengan suara panik. Katanya kucing kami mati. Gitu sampai di rumah, pemandangan paling mengerikan yang pernah kuliat sepanjang umurku waktu itu pun terpampang, bahkan sampai saat ini masih aku ingat. Tiga anak kucing itu mati kehabisan darah. Si kucing belang kuning mati dengan kepala putus dari badan, yang bikin mengerikan adalah, kepalanya menghadap ke arah pintu tempat kami masuk, jelas bikin menjerit. Anak kucing lainnya, yang belang hitam putih, mati seperti dimutilasi, kaki dan tangannya putus, kaki belakangnya pun sempat susah kami cari. Kucing yang ketiga, dengan belang abu, kucing kesayanganku, mati dengan isi perut keluar dari badannya. Ususnya terburai keluar. Tapi yang paling bikin aneh adalah, dari kesemua mayat mereka, enggak ada darah yang keluar. Bahkan usus kucing kesayanganku pun seperti abis dicuci, bersih.

Sejak saat itu, kami pun udah enggan memelihara kucing lagi secara khusus. Paling, kalau ada kucing yang datang ke rumah, dan minta makan, pasti dikasih makan. Tapi, untuk memelihara seperti sebelumnya, diberi tempat tidur, makan, dan minum, dan rumah, udah enggak pernah lagi. Kami memelihara kucing seadanya, sampai sekarang.

But everything changes.
Terutama sejak Mr.Kho menunjukkan ketertarikannya sama binatang berbulu ini. Sekitar bulan Oktober, dia mulai akrab dan memelihara seekor kucing jalanan, yang dia kasih nama Gerry. Kucing belang abu ini pun resmi jadi bahan peliharaannya. Gerry punya mata yang sedih. Mungkin, pandangan itu tercipta dari pahitnya kehidupan yang pernah dia jalani selama ini.

P1020526.JPG
Gerry si mata sedih (Foto: Andru Kosti)

Menurut perkiraannya, Gerry berumur sekitar 1.5 tahun. Dibandingkan kucing kebanyakan yang lasak dan doyan main, Gerry lebih kalem. Dia lebih suka dielus daripada diajak main.

sekitar seminggu kemudian, satu ekor lagi kucing datang, Miko namanya. Ukurannya sedikit lebih besar dari Gerry, mungkin juga lebih tua.

P1020477.JPG
Miko si Tukang main cewek (Foto: Andru Kosti)

Miko, si kucing belang cokelat hitam ini pun sedikit lebih bongsor. Dengan mata yang lebih jernih dan tegas. Mr. Kho pernah cerita, sekitar jam 12 malam, dia dengar suara Miko yang sedang meraung kuat. Ternyata, si jantan ini tengah menggagahi betina tetangga sebelah. Kucing berwarna abu putih yang kami beri nama Roxy.

Tadinya, aku kira perkara memelihara kucing ini hanya berlaku di rumahnya. Sampai di bulan November, semua pun berubah, selesai motret dan balikin barang, seekor kucing hitam nyantai dengan tentram di teras kos. Kucing yang entah datang dari mana ini, punya bekas luka di leher belakangnya. Warnanya hitam dan putih, dengan mata yang selalu menatap tajam. Kucing ini pun kami beri nama Loki.

img-20170102-wa00061
Loki, si mata tajam (Foto: Andru Kosti)

List belanjaan yang kami yang awalnya hanya jejeran alat dan properti foto, kali ini bertambah dengan daftar makanan kucing. Tadinya, aku mau kasih nasi biasa yang dicampur ikan untuk mereka. Tapi menyiapkan makanan pun butuh waktu dan kerajinan tersendiri. Jadilah kami menyetok makanan tiap 1-3 minggu yang kami bagi dua. Sebagian untuk Loki di kos, dan sebagian lagi untuk Gerry dan Miko di rumahnya.

Lama-kelamaan, aku pun mulai terbiasa dengan kehadiran kucing di kos ini. Seenggaknya, aku punya hiburan tersendiri saat sedang suntuk.

Sejumlah penelitian mengungkap efek mengejutkan memelihara kucing. Mengelus kucing bisa menurunkan risiko serangan jantung hingga 30 persen. Risiko ini mengecil, tidak lain disebabkan kadar stres yang menurun. “Kita tahu gangguan psikologis seperti stres dan kegelisahan sangat berkaitan dengan gangguan jantung, terutama serangan jantung,” catat Dr. Adnan Qureshi, Direktur Eksekutif Institut Strok Minnesota, Amerika. “Memiliki kucing sebagai peliharaan dapat mengurangi stres,” tambah Qureshi dalam tulisan berjudul “Cat Owners Have Lower Heart Attack Risk, Study.

3 Comments Add yours

  1. Joni Delaroza berkata:

    Kucing bisa jadi teman kala takut, misalnya di rumah sendiri waktu mati lampu. Salam kenal ya, terima kasih.

    Suka

  2. Nita berkata:

    Itu kucing yg warna hitam mirip kucing saya yg hilang saya mo nanya itu kucingny umur berapa?

    Suka

    1. danaanjani berkata:

      Halo mbak Nita, Loki kemaren waktu saya nemu kurang tau umur berapa. Dirawat di kos cuma dua bulanan, terus gak tau pergi lagi. Sampe sekarang gak pernah balik, udah sempat saya cari disekitar rumah tapi gak nemu.

      Suka

Tinggalkan komentar