Sutradara: Edo WF. Sitanggang
Genre: Drama, Aksi
Pemain: Rio Dewanto, Donny Alamsyah, Tio Pakusadewo, Annisa Pagih, Ria Irawan, Atiqah Hasiholan
Menurut saya, jika Anda ingin menilai sebuah film, lihatlah ceritanya, tokohnya, hingga pesan yang ada didalamnya. Tapi dari kesemuanya, yang paling penting adalah, Anda harus menonton film tersebut.
Secara pribadi, saya bukanlah penikmat film Indonesia. Saya lebih bisa menikmati film Hollywood berjam-jam dibanding terpekur untuk menonton film Indonesia. Tapi tahun ini agaknya menjadi satu masa dimana saya mulai benar-benar terkagum-kagum dengan para sineas tanah air lewat karya mereka. Jika dihitung, ada beberapa film lokal yang sayang jika dilewatkan. Bulan Di Atas Kuburan inilah salah satunya.
Awalnya, tanpa melihat poster dan deretan pemain yang ada didalamnya. Saya hanya terpikir tentang salah satu film horror komedi khas ayam goreng yang memamerkan paha dada di sepanjang cerita. Tapi nyatanya, film ini bahkan bukan tandingan film dengan genre semacam itu. Bulan Di Atas Kuburan sendiri pernah difilmkan pada tahun 1973 dan disutradarai oleh Asrul Sani. Film ini diadaptasi dari sajak karya Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran, Bulan Di Atas Kuburan”.
Bercerita tentang tiga orang sahabat, Sahat (Rio Dewanto), Tigor (Donny Alamsyah), dan Sabar (Tio Pakusadewo) yang meninggalkan tempat kelahirannya di Tanah Toba untuk mengadu nasib di Jakarta. Berbagai konflik pun terjadi dalam persahabatan mereka.
Di Jakarta, Sahat yang merupakan seorang penulis bertemu dengan Mona (Atiqah Hasiholan), seorang anak anggota partai politik yang begitu menyukai karya Sahat. Seiring berjalannya waktu, Sahat dan Mona menikah, namun konflik pun terjadi setelahnya. Sahat akhirnya harus bergabung dengan ayah Mona, Maruli (Arthur Tobing). Pergolakan emosi terjadi ketika Sahat harus mengorbankan impiannya menjadi penulis terkenal dan beralih pada pekerja politik. Keluarga yang ia bina pun mengalami gejolak. Di lain tempat, Tigor (Donny Alamsyah) bekerja sebagai seorang sopir angkutan umum yang jatuh cinta pada seorang pekerja karaoke, Nisa (Annisa Pagih). Kemudian Sabar (Tio Pakusadewo) yang ingin selalu membahagiakan istrinya (Ria Irawan).
Meskipun Rio Dewanto digadang sebagai tokoh sentris di film ini, saya justru lebih terpesona dengan akting Donny Alamsyah sebagai Tigor. Pemuda lugu asal Tanah Toba yang begitu polos dan tulus. Kalimat-kalimat yang dituturkannya pun tak jarang membuat gelak tawa. Terlebih lagi saat ia mulai jatuh cinta pada Nisa, yang telah memiliki seorang anak. Ketulusan yang ditunjukkan tokoh Tigor pun seakan membawa saya pada suatu realitas bahwa mencintai tak hanya tentang menyodorkan barang mewah dan hidup bergelimang harta. Kesetiaannya sebagai seorang sahabat pun menjadi peran yang cukup menggugah. Tak hanya itu, ia pun juga menunjukkan kebolehannya dalam berkelahi. Tentu saja, hal ini bukan sesuatu yang mengagetkan, mengingatkan kiprahnya di film The Raid 2011 lalu.
Begitu juga dengan Sabar (Tio Pakusadewo) yang tak henti menjadi sorotan utama di film ini. Dialek Batak yang natural dan kemampuan akting yang memang tak perlu diragukan lagi, memberi pesan mendalam tersendiri tentang hidup di kota besar. Bukan hanya sebagai seorang sahabat, ia pun menjadi suami yang begitu mencintai istrinya. Kasih sayang dan adegan romantic antar keduanya pun dikemas dengan begitu manis. Ada satu scene yang membuat saya ingin melaknat sang sutradara. Yaitu ketika Sabar, yang baralih profesi sebagai supir taksi menabrak seorang pengendara sepeda motor. Ia kemudian diamuk dan dibakar masa. Sebuah adegan yang cukup menggambarkan masyarakat Indonesia yang tak jarang main hakim sendiri. Music scoring yang dibuat Viki Sianipar di adegan ini pun begitu memuaskan. Lagu Mengkel Na Ma Ahu menjadi daya tarik tersendiri di film ini.
Walaupun beberapa konflik terbilang kurang mencapai klimaks seperti yang saya ekspektasikan. Namun film ini mampu menggambarkan Tanah Toba dengan begitu apik. Teknik sinematografis yang disajikan pun tak berlebihan. Membuat keindahan Danau Toba tetap natural, tanpa sentuhan yang dibuat-buat.
Secara keseluruhan, saya begitu menyenangi film ini, konfliknya begitu sederhana dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, pengemasan tiap pesan yang ada juga memiliki kekuatan tersendiri. Film ini menjadi satu alasan bahwa dunia perfilman Indonesia tidak akan pernah surut dengan gempuran film Hollywood.
PS. Artikel ini pernah dimuat di Kover Magazine edisi Mei-Juni 2015
Aku sebel krn ketinggalan film ini. Cepat kali ditariknya
SukaSuka
iya kak, paling cuma beberapa minggu ya kemaren, bagus lho ini filmnya…
SukaSuka
nunggu di youtube ajalah nanti dan
SukaSuka
bukannya biasanya kalau film indonesia lama ya muncul di youtube.. kakak suka film aksi?
SukaSuka
Ya gapapaaa, hahahaha. Ini film aksi ya? Kalo film indonesia, yang mana aja asal bagus sih danaaa
SukaSuka