Pada dasarnya, tidak ada orang yang benar-benar tahu bagaimana masa depan akan membawanya. Itu pula kenapa banyak orang yang kemudian mengatur sekian banyak rencana dalam hidup, dibuat beruntun agar jelas ritmenya. Sementara sebagian lain memilih untuk menikmati apa yang terjadi hari ini, tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi pada hari esok, karena hidup hanya sekali. Live the moment, dan menjalaninya semaksimal mungkin. Pekerjaan, percintaan, dan keluarga jadi hal yang biasanya menjadi poin paling besar dalam membuat rencana. Aku pun begitu, dulu. Bagiku, segalanya akan lebih sempurna jika direncanakan, perjalanan, pekerjaan, bahkan sebuah hubungan.
Lamat laun, rencana hanya tinggal angan di kepala yang tak kunjung sesuai dengan realita. Imbasnya, aku memilih untuk lebih menikmati apa yang terjadi, dan melakukan yang terbaik untuk tiap kesempatan yang diberikan. Bukan kah memang harus begitu? Maka biarkanlah aku bercerita tentang waktuku yang kini dijalani dalam sebuah keluarga. But first, it’s not about a bloodlines family, it is about being part of Family.
“Menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, dan membuat orang-orang yang berada di dalamnya seperti keluarga.” Sebuah kalimat singkat yang diucapkan lelaki berkaus putih itu cukup membuatku menyunggingkan senyum, antara percaya atau ragu. Bukan kah begitu yang kerap diucapkan oleh seorang pimpinan pada bawahannya tentang perusahaan yang menaunginya? Aku mendengar kisahnya lebih jauh, tentang masa kecilnya, tentang bapak ibunya, dan tentang bagaimana Family ada.
Sebagai seorang anak yang lahir di keluarga dengan orang tua pekerja, aku tau bagaimana rasanya melihat ibu dan bapak pergi kerja di pagi hari dan pulang ketika siang dan sore. Waktu itu, aku lebih sering dijaga nenek, darinya pula aku belajar banyak hal yang barangkali kedua orang tuaku tidak benar-benar ajarkan. Aku pun terbiasa sarapan tanpa orang tua, bermain masak-masakan sendiri, dan lebih sering menghabiskan waktu di atas pohon di samping rumah kami sambil menunggu mamak pulang. Kedua orang tua yang bekerja ini pula lah yang akhirnya membentuk pola pikir bahwa perempuan pun penting untuk ikut bekerja dan menyokong keluarga, atau, dirinya sendiri.
Aku masih memperhatikan bagaimana laki-laki dengan kaca mata yang duduk di depanku ini bicara tentang masa kecilnya yang kerap ia habiskan tanpa melihat orangtuanya. “Mamak dan bapak saya keluar untuk kerja sejak pagi, dan baru pulang waktu malam, saya gak bisa marah atau nuntut waktu mereka, karena saya sadar apa yang mereka lakukan, ya untuk mendukung keluarga ini,” Walau jarak tempat duduk kami cukup jauh, aku masih bisa lihat guratan di bola matanya yang terlindung kaca mata. Ada garis merah disana, garis yang muncul jika seseorang tergerak emosinya.
Sebuah keluarga yang mengajarkannya arti kerja keras ini pula lah yang akhirnya membuatnya tekun untuk berusaha hingga membuka beberapa anak perusahaan yang kemudian menjadi bagian dari Family. So here I am, working as his employee in a company called Family. Ya, namanya Family Group. Sebuah perusahaan yang aku sadar, berusaha sangat kuat untuk membangun dan membantu orang-orang yang berada di bawahnya untuk bisa bertumbuh menjadi orang yang lebih baik. Menciptakan lapangan kerja, mengisinya dengan vibe yang positif, dan membuat dan memperlakukan orang-orang di dalamnya layaknya keluarga, itulah fokus yang dilakukan perusahaan ini. Setidaknya itu yang kurasakan, menjadi bagian dari sebuah keluarga yang disebut Family Group.
Nama grup ini pun sebenarnya tidak asing di telinga, karena ada unit perusahaan yang begitu lekat di kepalaku. Sebuah kedai kopi yang kudatangi tanpa lihat waktu, bahkan tanpa riasan muka, dan aku tetap nyaman. Sensuri Coffee, yang berada di Sei Kera, dan setauku sudah di renovasi dari desain awal ini punya cerita sendiri untukku.
Musik sendu, aroma kopi, dan hati yang patah barangkali perpaduan sempurna akhir pekan yang menyakitkan. Itulah bagaimana aku menghabiskan akhir tahun pada 2018 lalu. Tidak, jika diingat, barangkali hingga pertengahan 2019 aku masih melakukan ritual yang sama. Secangkir kopi untuk penyembuhan, entah luka yang mana. Aku mulai benar-benar membaca soal biji kopi, bahkan ikut berdiskusi tentang tanaman ini. Di kedai kopi fancy, hingga warung pinggir jalan. Kopi, menjadi salah satu caraku berinteraksi dengan dunia baru, dan melupakan segala yang tak perlu.
Di sebuah kedai kopi yang akhirnya kembali kukunjungi waktu itu nyatanya punya banyak perubahan. Terakhir kali kesini, aku datang bersama lima orang teman, salah satunya adalah orang yang menjadi alasan cangkir kopi yang kuminum jadi begitu banyak. Seorang teman lainnya pun menyusul. Disana, kami bicara banyak hal, terlalu banyak sampai aku sulit mengingat apa saja. Disana pula akhirnya aku kembali untuk memperoleh bantuan bagi jiwaku. Seorang teman dekat menungguku disana, dia bilang aku mungkin butuh kopi dan seseorang untuk diajak bicara.
Di Sensuri dekat tempat tinggalku, akhirnya aku kembali meminum kopi layaknya ritualku selama ini. Bedanya, kali ini tanpa air mata. Aku mencium aroma kopi yang kelat, furniture lucu berwarna pink, dan sofa empuk tempatku bersandar sangat nyaman. Sampai aku lupa, kedai kopi ini pun punya jam operasional.
Bagiku, coffee shop ini punya cerita tersendiri, cukup intim hingga tiap mengingatnya aku justru senyum-senyum bodoh. Dulu, karena jaraknya yang sangat dekat dengan kos, kami kerap kemari untuk sekadar mengobrol, tanpa ada yang menyapa. Beberapa perubahan disini pun cukup menarik pandanganku, terlebih lagi dengan frekuensiku yang cukup sering sekarang.
Sensuri Coffee menyajikan kopi tanpa justifikasi yang menurutku sangat membuat nyaman. Tidak bising, dan menyenangkan untuk kerja atau sekadar baca buku. Minuman favoritku tetap cokelat dan caffe latte. Diminum sembari membaca berita online, atau mengetik apa yang ada di kepala, atau, mengerjakan sesuatu agar invoice lekas cair.
Untukku yang suka berinteraksi dengan pembuat kopi pesananku, wajib rasanya menghabiskan waktu barang lima menit sekadar bertanya soal kopi yang mereka seduh, atau menu terbaru yang mereka sajikan. Bukan apa, interaksi ini lah yang menciptakan rasa nyaman pertama kali. Jika baristamu bahkan tidak bisa membuatmu merasa nyaman, bagaimana kau bisa menghabiskan waktu yang lebih panjang di dalamnya? Sesederhana itu.
Terkenal karena warna merah muda yang menghiasi hampir seluruh ruangan, aku pernah menganggap bahwa pemilik tempat ini adalah perempuan yang over girly. I mean, bukannya cuma perempuan yang doyan pakai pink kemana-mana? Logo yang mereka miliki pun seolah memperkuat dugaan itu. Bentuk dua orang perempuan bergandeng tangan, cat berwarna pink, dan furniture cozy dan hommie, apa lagi kalau bukan ejawantah dari pikiran perempuan?
Lately, something surprise me that the logo is actually the owner’s daughters. Yap, pemilik coffee shop ini punya dua anak perempuan, yang kemudian menjadi inspirasi dari logo kedai ini. Karena jika dilihat seksama, besar keduanya juga berbeda. Warna pink-nya? Cause it’s simply that he likes this kind of colour. Menurutnya, merah muda itu soft dan memberikan kenyamanan tersendiri, which I agree. Warna pink yang dulu kunilai terlalu “cewek” ini pun nyatanya cukup untuk membuatku nyaman berlama-lama di depan laptop, nyesap kopi, dan ikut bernyanyi dengan lagu yang diputar. Ternyata sesimple itu untuk membuat nyaman.
Menjadi bagian dari Family membuatku tahu lebih dalam tentang apa-apa yang ada di dalamnya, termasuk Sensuri. Ya, setidaknya pikiran jauhku tentang kenapa nama Sensuri dipilih cukup terperbaiki. Dulu, nama ini selalu kuanggap sebagai akronim dari Sensori. Ya, bagian dari tubuh yang digunakan untuk mempelajari dan merasakan sesuatu. Nyatanya, ini adalah gabungan dari nama pemilik dan istrinya, Yansen dan Suriyanti. Setidaknya kenyataan ini cukup untuk membuatku berkeinginan membuat usaha yang ada namaku di dalamnya. Dana’s Place, mungkin?
Ada beberapa outlet Sensuri Coffee di Medan yang masing-masing punya tingkat kenyamanan berbeda. Sensuri Sei Kera yang sangat dekat dari lingkunganku itu adalah yang paling pink, dan paling sering kudatangi. Tapi Sei Besitang adalah yang paling terasa seperti berada di rumah. Mungkin karena outletnya yang terletak di pinggir jalan, dan berbentuk rumah lama dengan sentuhan tumbuhan di dalamnya. Tingkat privasi pun bisa dilihat dari pilihan tempat duduk. Karena disini, ada beberapa titik yang kerap dijadikan tempat oleh para pengunjung berkumpul, tak jarang untuk saling sharing sambil minum. Mereka biasanya memilih yang jauh dari pintu masuk, yang menurutku justru lebih private dibanding titik lainnya. Kesukaanku? Dua bangku pas sebelah dinding yang berada pada ruangan sebelah. Kau harus benar-benar berkeliling untuk menemukan spot ini. Aku yang lebih suka menyendiri pun sangat cocok dengan letaknya, bedanya, aku tidak bisa memperhatikan tiap orang yang masuk. Seperti yang biasa kulakukan di outlet Sei Kera dan Center Point.
Nyaman. Satu kata sederhana yang malah kadang dilupakan oleh sebuah café. Aku punya pengalaman buruk di sebuah kedai kopi yang cukup trend di Medan. Bersama seorang kawan, kami berencana menghabiskan sore dan bekerja disana. Tapi niat itu pun akhirnya musnah, saat bangku yang kami duduki disebut sudah di-reserve oleh tamu yang baru datang setelah kami hampir 20 menit duduk disitu. Tidak ada reserve sign, tidak ada pemberitahuan di awal, bahkan tidak ada permintaan maaf atas rasa tidak nyaman yang terjadi dan kami diminta pindah ke meja yang jauh lebih kecil dan bahkan gak muat untuk dua laptop dan minuman. Tak ayal, kami pun meninggalkan tempat itu dengan rasa jengkel yang besar dan meyakinkan dalam diri, bahwa kami tidak akan pernah lagi kembali ke tempat itu.
Rasa nyaman ini pula yang kutemukan di Sensuri dengan musik mereka yang tidak pernah bikin bosan. Kopi yang mereka sajikan pun cukup untuk membuatku yakin bahwa biji yang mereka gunakan adalah kopi dengan kualitas tinggi. Satu hal sederhana yang selalu kuamati adalah, tidak ada diskon di tempat ini. Yap, tidak ada promo buy 1 get 1 free atau buy 2 get 1 free, atau promo lainnya. Tapi, selalu saja ada orang yang datang barang minum kopi sambil bekerja di gawai mereka, atau sekadar mengobrol dan berfoto. Setidaknya, ini cukup membuatku paham betul bahwa Sensuri sudah punya marketnya sendiri. Benar, orang-orang yang datang bukan karena promo atau potongan harga, tapi orang-orang yang memang datang untuk menikmati vibe di tempat ini dan sajian yang ditawarkan.