Kelinci, binatang lucu nan menggemaskan ini memang banyak menjadi peliharaan orang-orang. Selain tingkat kelucuannya yang cukup menghibur, perawatannya juga tidak terlalu sulit, plus makanannya yang tergolong relatif murah. Tapi bagaimana dengan daging kelinci?
Jujur, saat pertama kali diajak seorang sepupu untuk makan daging kelinci justru sekitar tahun 2012, waktu itu aku liburan ke Bogor. Ada warung yang menjual daging kelinci yang konon, rasanya juga enak dan cukup terkenal. Tapi berdasarkan rasa kasihan dengan kelucuannya, aku pun urung. Termasuk waktu itu masih ragu dengan halal atau tidaknya kuliner jenis ini. Plus, rasa malas untuk cari tau, akhirnya baru kesampaian di tahun ini.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
أَنْفَجْنَا أَرْنَبًا وَنَحْنُ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ ، فَسَعَى الْقَوْمُ فَلَغَبُوا ، فَأَخَذْتُهَا فَجِئْتُ بِهَا إِلَى أَبِى طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا ، فَبَعَثَ بِوَرِكَيْهَا – أَوْ قَالَ بِفَخِذَيْهَا – إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَبِلَهَا
“Kami pernah berusaha menangkap kelinci di lembah Marru Zhohran. Orang-orang berusaha menangkapnya hingga mereka kelelahan. Kemudian aku berhasil menangkapnya lalu aku berikan kepada Abu Tholhah. Diapun menyembelihnya kemudian daging paha diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan beliau menerimanya.” (HR. Bukhari 5535, Muslim 1953, dan Turmudzi 1789).
Bagiku pribadi, segala hal yang berhubungan dengan konsumsi berupa makanan dan minuman, haruslah benar-benar dasar hala atau tidaknya. Bukan hanya tentang kandungan babi, karena menurutku halalnya suatu makanan tidak sekadar perkara babinya. Ada banyak hal yang perlu diketahui. Sumber bacaan pun makin banyak, kalau-kalau bertanya pada yang mengerti dirasa belum perlu.
Keinginan makan daging kelinci ini kemudian kembali muncul berkat ajakan dari Wina. Food blogger budak konten yang punya moto “Coba dulu biar pernah” ini ngajak untuk mencoba kuliner ini. Letaknya hanya beberapa meter dari kantor Imigrasi Kelas I Medan di Gatot Subroto. Ada plang besar di depannya bertuliskan Kuliner Kelinci Warung Barokah dengan warna merah dan kuning yang cukup mencolok. Jadi enggak susah untuk nemuin warung ini.



Tidak hanya sate kelinci, warung ini juga menyajikan ragam menu lain berbahan dasar kelinci yang bisa dicoba. Seperti Burger Kelinci, Oseng Mercon Kelinci, Tongseng Kelinci, dan banyak lagi. Harganya pun variatif, mulai dari Rp. 20.000, kita sudah mulai bisa menikmati sajian di warung ini.



Untukku yang baru pertama kali menyicip kuliner ini, taste dari daging kelinci yang dibakar ternyata cukup unik. Lembut seperti daging ayam, tapi juga agak alot mirip daging kambing, plus memiliki aroma khas kelinci yang tidak terlalu mengganggu. Daging kelinci ini memberi efek hangat pada badan. Itu juga sebabnya, kuliner jenis ini lebih banyak dijual di daerah yang dataran tinggi.
Pengalaman pertama kulineran ini begitu seru menurutku. Menyicip kuliner yang baru kali ini diberanikan untuk dicoba ternyata begitu asik dan menambah pengetahuan. Bahwa nongkrong tidak harus di kafe parlente. Warung pinggir jalan pun tak kalah lezat.